Infopurworejo.com – Baru-baru ini muncul sosok yang disebut-sebut sebagai raja dari Kerajaan Angling Dharma di Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang, Banten. Ia adalah ‘Sultan’ Jamaludin Firdaus dan sering dipanggil sebagai ‘baginda’ oleh warga setempat. Nama Angling Dharma sendiri pada dasarnya adalah nama seorang tokoh legenda dalam tradisi Jawa. Ia adalah keturunan ketujuh dari tokoh Arjuna dalam kisah Mahabharata.
Kemunculan sosok ‘raja’ seperti ini mengingatkan kita pada kasus serupa yang membuat geger masyarakat Indonesia pada awal tahun 2020 kemarin. Kasus itu adalah tentang kemunculan Keraton Agung Sejagat yang dipimpin oleh rajanya yang bernama Totok Santoso Hadiningrat dan permaisurinya Fanni Aminadia atau yang juga disebut sebagai Dyah Gitarja. Keraton ini berpusat di Desa Pogung Juru Tengah, Bayan, Kabupaten Purworejo.
Kehadiran Keraton Agung Sejagat tentu saja menjadi polemik hebat di masyarakat waktu itu. Hal ini sampai membuat Forum Silaturahmi Keraton Nusantara yang mewadahi kerajaan-kerajaan atau keraton sebelum kemerdekaan Indonesia ikut bersuara. Melalui ketuanya saat itu yang dipegang oleh Sultan Sepuh XIV Cirebon, P.R.A. Arief Natadiningrat mempertanyakan kemunculan keraton ini.
Bahkan menurut Sultan Sepuh Cirebon ini, keraton-keraton bersejarah di Indonesia sendiri selama ini berjuang mati-matian untuk mempertahankan eksistensinya di tengah perubahan budaya yang semakin masif. Tentunya kemunculan keraton baru yang tidak ‘bersejarah’ ini merupakan hal yang konyol di zaman ini.
Namun, bagaimana dengan kasus Kerajaan Angling Dharma? Kenapa kemunculan fenomena ‘kerajaan dadakan’ ini masih diminati oleh masyarakat?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus mencoba untuk menganalisa secara seksama dari kedua kerajaan dadakan tersebut. Kedua kerajaan dadakan ini sebenarnya memiliki perbedaan yang cukup menjelaskan kenapa fenomena ini bisa muncul di masyarakat. Apa saja perbedaan tersebut?
1. Klaim Sebagai Raja
– Pendiri Keraton Agung Sejagat secara terang-terangan mengklaim sebagai raja dan ratu setelah mendapat wisikan/bisikan ghaib dan mendirikan Kerajaan Mataram Kedua (Keraton Agung Sejagat).
– Pendiri Kerajaan Angling Dharma ‘tidak mengklaim gelar raja’, namun diberi gelar atau diangkat sebagai raja oleh sosok yang tidak diungkapkan.
2. Motif Berdiri
– Keraton Agung Sejagat didirikan untuk meneruskan kembali Kerajaan Majapahit. Menurut Totok Santoso, ia mendapatkan wangsit untuk mendirikan sebuah kerajaan yang mewarisi kekuasaan Majapahit.
– Kerajaan Angling Dharma menghubungkan rajanya saat ini sebagai sosok Satria Piningit yang diramalkan kemunculannya dalam ramalan Jayabaya dan akan membawa kesejahteraan bagi banyak orang.
3. Tahun Berdiri
– Keraton Agung Sejagat didirikan pada 2018 yang diklaim tepat 500 tahun setelah Raja Majapahit terakhir, Dyah Ranawijaya, melepas kekuasannya ke Portugis pada tahun 1518.
– Kerajaan Angling Dharma sudah ada pada 2004 dengan diangkatnya Jamaludin Firdaus sebagai raja Kerajaan Angling Dharma.
4. Gerakan Organisasi
– Keraton Agung Sejagat merupakan gerakan kultural mistis dan lebih condong sebagai gerakan budaya.
– Kerajaan Angling Dharma merupakan gerakan sosial yang lebih banyak membantu warga secara materi.
5. Sepak Terjang
– Karena Keraton Agung Sejagat lebih condong sebagai gerakan budaya, maka banyak kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan budaya seperti kirab budaya dan wilujengan.
– Karena Kerajaan Angling Dharma lebih condong sebagai gerakan sosial, maka banyak kegiatan dilakukan berkaitan dengan bantuan sosial seperti pembangunan rumah-rumah warga.
Dari perbedaan di atas, sekali pun motif dan sepak terjang kedua kerajaan ini berbeda, namun keduanya sama-sama berlandaskan pada elemen-elemen sejarah dan budaya masa lalu di Nusantara. Bahkan, keduanya juga sama-sama menggunakan jenis pemerintahan yang sama yakni monarki atau kerajaan.
Dengan demikian, seseorang bisa dengan mudah mengklaim diri sebagai raja dan punya kontrol penuh atas komunitas yang dipimpinnya. Ini jelas akan mempermudah kepentingan masing-masing pendirinya.
Selain itu, klaim-klaim yang digunakan juga berlandaskan pada sejarah atau kebudayaan yang masih melekat di hati masyarakat. Klaim-klaim ini tentu diharapkan bisa menjustifikasi dan menarik simpati masyarakat pada kerajaan yang dipimpinnya.
Namun perihal klaim, di sini lah letak unik yang membedakan sekaligus bisa jadi penghubung kenapa fenomena kerajaan dadakan ini muncul.
Keraton Agung Sejagat menggunakan klaim sebagai penerus Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Jawa terbesar sebelum zaman penjajahan. Sedangkan Kerajaan Angling Dharma menggunakan ramalan akan munculnya Satria Pingingit dalam ramalan Jayabaya yang akan mensejahterakan masyarakat.
Kedua motif di ini pada dasarnya sama-sama merindukan akan adanya suatu zaman emas di mana masyarakat bisa hidup dengan sejahtera. Jika Keraton Agung Sejagat melihat kejayaan di masa lalu yang tercermin dalam kebesaran Kerajaan Majapahit, maka Kerajaan Angling Dharma melihat kejayaan di masa depan seperti yang telah diramalkan dalam teks ramalan termasyur di Nusantara, yakni Jayabaya.
Ini menjadikan kedua kerajaan dadakan ini sebagai dua sisi dari satu koin yang sama. Berbeda secara penampakan, namun tetap lahir dari hasrat masyarakat yang sama akan sebuah kemajuan dan kesejahteraan negeri.